Sunday, January 18, 2009

Mengeluh Adalah Penghambat Kemajuan

Mengeluh Adalah Penghambat Kemajuan
Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang bersuku Nias yang kebetulan merantau dan bekerja di kota saya. Kebetulan pada malam itu dia ada keperluan dengan saya dan kami sempat mengobrol hampir setengah jam lamanya. Sedikit banyaknya di bercerita pada saya, bagaimana pekerjaannya, bagaimana keadaan rumah tangganya dan
bagaimana keadaan anak-anaknya yang semuanya sudah punya pekerjaan walaupun hanya berstatus pekerja biasa. Tapi begitulah rupanya bagi manusia yang seperti dia. Ada kepuasan yang amat sangat saya lihat di rona wajahnya. Yaitu ketika ia bercerita tentang seorang anaknya yang menjadi seorang pembantu rumah tangga di negeri jiran Malaysia. Rupanya anaknya ini mendaftar jadi TKW dan sekarang masih tetap berdomisili di Malaysia. Dia bangga karena dia tidak repot-repot mencari makannya lagi. Dia bangga karena putrinya ini sudah mengirim uang padanya sehingga ia sudah bisa membeli tanah dan membangunnya walaupun lokasi tempatnya hanya berada di pinggir perkotaan. Ia merasa dekat walau jaraknya jauh, karena kalau saja ia ingin berbicara langsung, ia sudah bisa memulainya dengan menekan tuts-tuts hand phone yang dibeli anaknya untuknya. Tapi meski saya gambarkan kegembiaran yang amat sangat ini, saya menyadari bahwa banyak pendapat manusia tentang hal ini. Banyak yang beranggapan kenapa ia harus bahagia kalau anaknya hanya sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang lain.
Bahkan mungkin banyak yang bertanya kenapa saya harus menggambarkan kehidupan yang semacam ini di dalam buku saya. Memang begitulah yang saya rancang di dalam karya saya. Saya ingin menuliskan bagaimana keadaan kaum miskin. Saya mengatakan bapak bersuku Nias teman saya mengobrol adalah kaum miskin. Saya yakin bahwa ia tak akan punya pendapatan 2 Dollarpun satu hari. Sebab itu ia sangat bangga
mendengar kalau anaknya sudah bekerja di Luar Negeri, walau hanya menjadi seorang Pembantu Rumah Tangga. Begitulah rupanya sisi-sisi kehidupan ini. Meski banyak yang menilai rendah, tapi individu yang terkait di dalamya terkadang sangat merasa bersukur sekali dengan keadaan yang ada. Dia bercerita tentang ketika anaknya pulang ke
Indonesia pada lebaran kemarin. Anaknya datang dengan membawa hand phonenya. Ketika turundari bis, tukar bis lagi dan melanjutkan perjalanan dengan sebuah becak dayung yang memnag banyak beroperasi di kota saya. Ketika dia tiba di rumahnya, bertemu dengan semua sanak saudara, di situlah anaknya tersadar bahwa hand phone miliknya ternyata sudah tidak ada di kantong. Kepunyaannya telah tercecer entah
di mana, entah itu jatuh ketika di dalam bus kota, atau memang selagi di dalam becak dayung. Ketika saya bercerita dengan seorang Nias ini, atau atau sang ayah dari TKW ini, dia nampak masih sangat kesal sekali. Kalau ditinjau dari pendapatan hariannya, memang sebuah hand phone adalah sebuah barang yang amat berharga, sebuah barang yang amat sulit ia miliki. Bahkan ia sendiri punya sebuah hand phone hanya karena dibeli anaknya. Dia bercerita dengan sangat kesal sekali. Inilah yang membuat saya berpikir untuk menulis cerita seorang Nias ini. Kenapa sampai begitu kesal. Saya yakin rasa kesalnya akan mengganggu kinerjanya pada hari hari yang dilaluinya. Saya sangat yakin itu. Dia nampak begitu memikirkannya. Kalau menurut saya, kalau sudah tidak bisa diperoleh kembali, lebih baik dilupakan saja. Lebih baik terfokus pada pekerjaan, agar lebih memungkinkan untuk mendapatkan uang kembali. Jengan terus memikirknnya Karena
dengan memikirkannya, hanya akan mengurangi keseriusan bekerja dan mengurangi pendapatan hariannya. Teman saya juga pernah kehilangan sebuah hand phone kesayangannya. Dia mencoba meneleponnya dengan telepon lain. Dia berlagak seolah hokum sudah tidak ada. Kalau ada hukum tentu dia akan katakan bahwa menahan milik orang lain ditangan kita adalah dosa, atau dalam hukum negara, mungkin ia terpaksa harus mengembalikannya kalau sudah terbukti memegang hand pone orang lain. Tapi karena teman saya hanya mendengar suaranya, teman saya tidak tahu di mana lokasi seseorang yang memegang hand ponenya, dan teman saya menyangka bahwa seseorang ini sudah menghalalkan cara seperti ini untuk memiliki sebuah handphone, lalu ia mengatakan dengan cara yang cukup unik, "Benar itu milikmu sekarang, sebab kau yang telah menemukannya. Sayapun akan ambil kalau sayamenemukan hand phone di tengah jalan. Saya tidak akan menuntutmu. Saya cuma ingin membeli hand phone itu karena itu sudah jadi milikmu dan saya sangat membutuhkannya".
Dengan ucapan teman saya ini dan karena si penemu handphone memang cukup berani pula, si penemu datang dan di antara mereka terjadi jual beli. Sangat unik kejadian ini kalau menurut saya. Lain hanlnya dengan apa yang saya hadapi. Saya pernah kehilangan hand phone. Setiap kubell, ia menyahut tapi tak bersedia mengantarkan handphone itu walau saya bayar kembali dan juga walau saya beri upah kembali. Tapi yang lebih unik lagi, dia selalu menjawab calling saya setiap saat. Kalau seseorang penemu handphone yang sudah jatuh, mungkin soal biasa kalau ia mematikan hand phonenya dan menukarnya dengan nomor lain tanpa ada lagi yang tahu dia mencuri atau tidak. Saya sudah mengalami kejadian seperti yang dirasakan laki-laki Nias itu. Tapi saya yakin
hari esok pasti lebih baik dari hari kemarin. Saya lebih suka melupakannya dari ada harus mengeluh terus sehingga akan mengganggu kegiatan saya dalam bekerja. Laki-laki itu seakan berdesis dengan bibirnya, ada ketika setelah 3 bulan kejadian itu berlalu. Saya berpendapat bahwa ini sesuatu yang sangata merugukan diri sendiri. Bila ada yang bersikap demikian, cobalah untuk menghindari sikap yang dimilikinya. Saya bukan mengatakan semua orang Nias bersikap demikian. Saya hanya menggambarkan seorang individu, yang bisa saya terjadi hal demikian pada individu lain di suku mana ia
dilahirkan. Dan bagi si penemu hand phone, saya yakin semua ini akan menjadi beban
baginya kalau terus menahan milik orang lain menjadi miliknya. Untuk apa mengambil milik orang lain. Bukankah kita bisa berusaha, kita bisa membelinya walau harus menabung lebih dulu. Kita akan merasa puas kalau memiliki hand phone dengan hasil jerih payah kita sendiri. Negara buat hukum sendiri, masyarakat membuat hukum tentang pencurian, itu tentu akan membatasi manusia dalam hal-hal yang merugikan bagi ketenangan si penemu barang dan juga merugikan materi bagi si empunya hand phone. Jadi bagi nasib seperti bapak bersuku Nias tadi, saya sebagai penulis lebih menyarankan agar ia sabar. Saya bilang sabar karena ia telah berusaha mencarinya. Ia telah pergi mencari sopir-sopir becak. Melihat para wajahnya bersama anaknya Tapi karena yang dicaripun tak nampak, dan memang anaknya sudah tidak tahu di saat mana ia kehilangan hand phone, lebih baiklah bersabar. Buat kembali tekad baru untuk memperoleh yang lebih dari pada itu. Semoga dengan adanya tulisan saya ini, akan sangat membantu bagi perbaikan jiwa dan hati para pembaca. Bila anda ingin Motivasi lainnya, Klik di sini

No comments: